Etika Politik: Prinsip Moral Kenegaraan Modern

Resensi buku oleh: Farhan (GMNI Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro)

Etika Politik Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern | Berdikari Book

Franz Magnis-Suseno menyajikan beberapa pemikiran filsuf kenegaraan seperti Plato, Aristoteles, Augustinus, Thomas Aquinas, Thomas Hobbes, John Locke, Karl Marx hingga kepada pemikiran negara sejahtera (Wealth Nation) secara sistematis dan runtut. Buku ini cocok bagi pembaca yang memiliki minat dan ingin belajar prinsip-prinsip dasar legitimasi kekuasaan atas negara. Dalam buku ini tidak akan ditemukan pembahasan mengenai kelakuan teknis politisi yang sering terjadi didalam pemerintahan suatu negara. Buku ini lebih bersifat normatif mengenai tugas dan fungsi kekuasaan didalam suatu negara seharusnya berjalan.

ETIKA POLITIK

Menurut Franz Magnus-Suseno dalam bukunya sebagai usaha ilmiah filsafat dibagi menjadi beberapa cabang. Dua cabang utama filsafat adalah filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat teoritis mempertanyakan apa itu manusia, alam, apa hakikat realitas, apa itu pengetahuan dan filsafat praktis mempertanyakan bagaimana manusia harus bersikap terhadap apa yang terjadi. Etika masuk dalam klasifikasi filsafat praktis karena etika mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia.

Dalam kerangka dimensi kesosialan manusia, dimensi politis mencakup lingkaran kelembagaan hukum dan negara dan sistem-sistem nilai serta ideologi yang memberikan legitimasi kepadanya. Dimensi politis manusia adalah dimensi masyarakat sebagai keseluruhan. Jadi yang menjadi ciri khas suatu pendekatan yang disebut politis adalah bahwa pendekatan itu terjadi dalam kerangka acuan yang berorientasi ada masyarakat sebagai keseluruhan. Sebuah keputusan bersifat politis apabila memperhatikan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian Etika Politik membahas mengenai tanggung jawab dan kewajiban manusia sebagai manusia, terhadap negara dan hukum yang berlaku.

LEGITIMAS KEKUASAAN

Inti permasalahan etika politik adalah legitimasi etis kekuasaan yang dapat dirumuskan dalam pertanyaan. Dengan hak moral apa seseorang atau sekelompok orang memegang dan mempergunakan kekuasaan yang mereka miliki? Seberapa besar kekuasaan seseorang dihadapkan dengan tuntutan tanggung jawab. Penguasa dapat saja tidak mempedulikan tuntutan pertanggungjawaban dan percaya ada kemampuannya untuk menindas segala perlawanan. Dapat saja penguasa menggunakan kuasanya untuk tetap berkuasa dengan mengintimidasi masyarakat, meskipun penguasa tidak bertanggung jawab. Akan tetapi, tatanan masyarakat tidak akan menjadi stabil dikarenakan tidak lagi didukung oleh masyarakat.

Paham legitimasi dibagi menjadi tiga yakni legitimasi religius, legitimasi eliter dan legitimasi demokratis. Legitimasi yang pertama membahas bahwa legitimas kekuasaan seorang pemimpin bersifat adiduniawi dan adimanusia, berasal dari alam gaib atau yang ilahi yang tidak dapat tergugat. Dalam paham ini yang relevan bukanlah apakah suatu kekuasaan sah atau tidak, melainkan kekuasaan itu sungguhan atau hanya semu, sesuai dengan karakteristik raja yang diinginkan masyarakat atau tidak (berbudi luhur, adil dan bijaksana). Tidak ada tempat bagi rule of the law dalam paham relijius, Contoh konkret kekuasaan relijius yang terdapat dalam paham traditional tentang kekuasaan yang dulu hidup dalam masyarakat jawa. Dimana raja merupakan medium yang menghubungkan mikrokosmos manusia dan makrokosmos tuhan.

Legitimasi Eliter mendasarkan hak untuk memerintah pada kecakapan khusus suatu golongan untuk memerintah. Paham legitimasi itu berdasarkan anggapan bahwa untuk memerintah masyarakat diperlukan kualifikasi khusus yang tidak dimiliki oleh seluruh rakyat. Mereka yang memilikinya merupakan elite masyarakat dan dengan sendirinya berhak untuk memegang kekuasaan jenisnya ada empat:

  1. Legitimasi aristokratis

Menurut legitimasi ini, secara tradisional satu golongan, kasta atau kelas dalam masyarakat dianggap lebih unggul dari masyarakat lain dalam kemampuan untuk memimpin masyarakat.

  1. Legitimasi Pragmatis

Sekelompok orang, golongan atau kelas yang de facto menganggap diri paling cocok untuk memegang kekuasaan.

  1. Legitimasi Ideologis 

Legitimasi ini menganggap bahwa yang seharusnya memegang kuasa dalam negara seharusnya adalah kelompok yang memiliki ideologi, yang telah disahkan oleh negara.

  1. Legitimasi Teknokratis

Legitimasi ini menganggap seharusnya orang yang memegang kekuasaan negara adalah para ahli dari bidang masing-masing.

Apapun jenis kuasanya etika politik menuntut agar kekuasaan tersebut dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku (legalitas), disahkan secara demokratis dan tidak bertentangan dengan prinsip dasar moral.

ETIKA POLITIK YUNANI : PLATO

Plato menulis pada zaman masyarakat yunani mengalami kemerosotan akibat yunani kalah dalam perang pelopones. Dalam orientasi seperti itu Plato memberikan orientasi ia menggagas bahwa pola kenegaraan yang baik akan tercipta apabila masyarakat ditata menurut cita-cita keadilan. Adil yang dimaksud plato bukanlah sekedar secara individualistik sekedar keadaan dimana hak semua anggota masyarakat terjamin. Melainkan keadilan dipahami sebagai tatanan seluruh masyarakat yang selaras dan seimbang. Dimana masing-masing anggota masyarakat memperoleh kedudukan sesuai dengan kodrat dan tingkat pendidikan mereka. Atas dasar pemahaman itu plato membangun suatu model negara. Dalam negara tersebut terdapat tiga golongan yakni, para penjamin makanan, para penjaga dan para pemimpin.

ETIKA POLITIK YUNANI : ARISTOTELES

Aristoteles membahas masyarakat dalam rangka permasalahan mengenai tujuan manusia. Menurut Aristoteles tujuan akhir manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia), karena hanya kebahagiaan yang diusahakan bagi dirinya sendiri, sedangkan bagi orang yang sudah bahagia tak ada sesuatu lagi yang dirindukannya. Tetapi, manusia adalah mahkluk sosial . sendirian ia hanya dapat sekedar mempertahankan nyawanya saja. Untuk hidup dengan baik, ia membutuhkan negara sebagai tatanan kehidupan bersama dalam satu masyarakat. Hidup yang baik menurut Aristoteles sebagai seorang manusia yang beradab yang dapat mengembangkan potensi-potensinya.

ETIKA POLITIK AUGUSTINUS

Menurut Augustinus negara sebenarnya adalah suatu hal yang buruk. Namun, tetap diperlukan karena manusia adalah pendosa berdasarkan dosal asal (dosa adam, manusia pertama). Hal tersebut dikarenakan manusia adalah makhluk yang egois dan mudah dipermainkan oleh hawa nafsunya. Karena kelemahan manusia tersebut, diperlukan suatu kekuasaan duniawi yang dapat menertibkan. Batas kekuasaan negara hanyalah larangan tuhan saja.

Negara sebagai Leviathan

Thomas Hobbes pada tahun 1651 menerbitkan karyanya yang utama yang berjudul The Leviathan. Dalam buku itu hobbes menggambarkan negara sebagai makhluk raksasa dan menakutkan yang melegitimasikan diri semata-mata kemampuanya untuk mengancam. Dalam bukunya tersebut hobbes menjelaskan mengenai teori perjanjian negara. Menurut teori perjanjian negara negara berasal dari perjanjian bebas anara individu-individu yang sebelum perjanjian belum bermasyarakat. Dikarenakan individu masing-masing tidak dapat sendirian memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi, mereka sebagai orang yang bebas dan sama kedudukanya mengadakan perjanjian bersama untuk mendirikan suatu tatanan politik dengan hak dan kewajiban tertentu, dan dimana wewenang tertinggi harus dijalankan dengan cara ditetapkan juga.

Menurut Hobbes negara dalam menentukan kebijakannya secara berdaulat.

“siapa yang diserahi kekuasaan tertinggi, tidak terikat pada hukum negara dan tidak memiliki kewajiban terhadap seorang warga negara”

Tidak ada kemungkinan untuk naik banding terhadap negara, masyarakat tinggal menerima. Atas dasar norma-norma moral dan keadilan pun, negara tidak dapat dituntut untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Karena apa yang dianggap adil ditentukan oleh negara. Oleh karena itu, menurut Hobbes negara tidak bertindak dengan tidak adil dengan seluruh kekuasaan yang dimiliki.

Pemikiran John Locke

Menurut John Locke penguasa menerima kekuasaanya dari masyarakat demi melindungi kehidupan dan hak milik para warga negara.  Maka kekuasaan itu hanya sah dalam rangka tujuan itu dan harus dipertanggung jawabkan. Locke memahami hubungan antara pemerintahan dan rakyat sebagai hubugan kepercayaan. Sumbangan john locke terhadap kesadaran kenegaraan modern adalah mengenai pembatasan wewenang yang dituangkan dalam konstitusi. Dampak dari adanya konstitusi legislative suat negara tidak dapat lagi membuat peraturan semena-mena karena undang-undang yang bertentangan dengan undang-undang dasar adalah tidak sah.

Menurut Locke ada dua hak yang berada diluar wewenang penguasa yang pertama hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Yang kedua, adalah hak perlawanan. Hak perlawanan menolak pedoman “perintah adalah perintah” agar perintah wajib ditaati, perintah itu harus sah dan perintah hanya sah sejauh berdasarkan wewenang konstitusional dan legal negara.

Jean-Jacques Rousseau:  Kehendak Umum

Sarana Rousseau untuk merancangkan negara ideal itu adalah paham kehendak umum. Rousseau  bertolak pada kepentingan individual masing-masing orang.  Menurut Rosseau dalam kehendak individu terdapat kehendak umum. Jadi, tidak ada orang yang bersikap egois murni. Setiap orang juga menghendaki hal-hal yang merupakan kehendak bersama (seperti keadilan, keamanan, perdamaian). Akan tetapi , dengan penjumlahan semua kehendak masing-masing, kita belum mendapatkan kehendak umum, kita hanya mendapat “kehendak semua”. kehendak umum adalah kehendak bersama semua individu yang mengarah pada kepentingan bersama. Kehendak umum itu dapat disaring dari “kehendak semua” melalui pemungutan suara.

Karl Marx : Negara Kelas

Menurut Marx negara tidak mengabdi pada kepentingan seluruh masyarakat, melainkan hanya pada kelas-kelas sosial tertentu saja. Negara secara hakiki merupakan alat dalam tangan kelas-kelas atas untuk mempertahankan kedudukan mereka dan negara dalam sebutan marx membentuk “bangunan atas ideologis” sebagai legitimasi kekuasaan kelas pemilik modal. Istilah “bangunan atas ideologis” menurut karl marx terdiri atas filsafat, pandangan tentang norma-norma moral dan hukum dan sebagainya yang berpihak pada pemilik modal guna membuat kelas-kelas bawah bersedia untuk menerima kedudukan mereka.